Powered By Blogger

Senin, 11 Februari 2013

Sutoori ストーリ_BAB 8_ Praba Agni Rizka Pradiptha


_ Cerita Daddy? _

          Siang ini aku bersama keluarga Mekha makan bersama. Maminya baik sekali. Tanpa merasa terbebeni ia memasakkan berbagai macam masakan untuk kami semua. Padahal ia baru saja datang dari Batam. Ingin aku membantunya memasak. Tapi.. yang kubisa hanya memasak mie instan dan merebus air!. Sebernarnya wanita apa aku ini?!. Tapi, mana mungkin aku tak membantu sama sekali. Disini aku membantu menyiapkan peralatan makan, tentunya dengan sedikit bantuan dari Mekha.
          I born to eat. I born to drink. I born to sleep, itu juga moto-ku. Aku makan dan minum dengan nikmatnya. Sungguh! Masakan maminya Mekha benar-benar enak.
“Mau tambah? Enakkan?. Mamiku hobbynya masak. Ia suka sekali membuat eksperimen dengan bahan-bahan masakan apa saja”, Mekha menceritakan keunggulan maminya.
“Oo.. nggak, sudah cukup kok!”, aku menolaknya.
Sebenarnya.. dalam hati ingin sekali aku melahap semua masakan ini. Jarang-jarang aku makan masakan rumah. Kurasa, bunda juga tak mungkin sempat memasakkan makanan untuk kami. Paling normal seminggu sekali aku bisa merasakan kenikmatan memakan masakan bunda. Maklumlah, bunda berangkat pagi-pagi sekali dan pulang malam karna tuntutan pekerjaan. Alhasil, kami lebih sering memakan makanan instan. Tapi, terkadang bang Faris segan membuatkan nasi goreng untuk aku dan Uzik, walau rasanya selalu tak enak. Jadi, kami tak melulu memakan makanan instan.
          “Tak perlu sungkan-sungkan.. kalau suka silahkan habiskan. Tante malah senang melihat kamu begitu nikmat memakan masakan tante!”, sambil menyodorkan beberapa makanan.
Aku malu, terutama saat mami Mekha berkata seperti itu. Kesannya, aku malah terlihat seperti anak yang kelaparan atau bisa juga anak yang istilahnya gak pernah makan!. Sama sajalah.. pokoknya begitu!!.
“Aa.. iya tante”, tanpa sungkan lagi aku mengambil beberapa sendok sup yang bentuknya terlihat aneh tapi melumer dan enak saat dimakan.
Kulihat tatapan mereka semua. Mereka sepertinya senang, saat melihat cara makanku. Makanan di mangkukku sudah habis. Aku merasa sedikit mengantuk. Mungkin karna terlalu kenyang.
“Kamu nginap disini saja, Ra?”, papinya menawarkan.
“Rencananya sih begitu, om. Aku ingin main sama Mekha. Lagipula.. dirumah gak ada siapa-siapa”, aku menerangkan.
“Kok, gitu?”, kembali papinya bertanya. Mekha berusaha menyela jawaban yang akan kuucapkan.
“Bundanya Rara dikirim ke daerah jember selama seminggu. Biasalah pi.. urusan pekerjaan”.
“Lho!? Rara anak tunggal, Mekh?”, kali ini maminya yang bertanya.
“Nggak kok mi. Oh ya, Rara ini anak kembar lho.. kembar cowok-cewek!. Dia juga punya Abang. Lah!! Abangnya Rara ini teman main aku sejak SMP dulu.. teman nongkrong gitu lah!”.
“Waah.. mulai dari dulu tante juga ingin punya anak kembar, ya kan pi?”, maminya beraksi mesra. “Rara.. buatin tante cucu kembar ya!”.
Aku yang dari tadi hanya diam mendengar, sentak kaget dan tersedak. Ku ambil segelas air dan lekas meminumnya. “Engmm.. maaf”, hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku sekarang. Aku menyelesaikan makanku.
--- ☀☁☂ ---
Menjelang sore aku, Mekha, dan papinya bersantai-santai di ruang tengah. Mereka terus saja menubrukku dengan berbagai pertanyaan. Terutama papi Mekha.
”Rara.. om ingin tahu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?. Rasanya, om merasa tak asing dengan wajah kamu”, sambil menyeruput kopi di cangkir keramik.
“Aa.. saya juga merasa begitu sih, om”.
Berhenti papi Mekha menyeruput kopi.
“Tuh kan!! Tapi, dimana? Kapan ya?”. Ia terlihat seperti mengingat-ingat.
“Rara.. ayah kamu siapa sih namanya?”, terusnya. Aku semakin bingung, kenapa membutuhkan nama ayah untuk mengingat. Meskipun tak tau apa maksudnya, kucoba ikuti arah. “Daddy-ku namanya John Crowder. Memangnya kenapa, om?”.
“Tuuh kan...!”, papi Mekha beranjak dari sofa. Papinya semakin membuatku bingung. Bikin aku kaget pula!.
“Eh?”, reflek kata yang keluar dari mulutku. Mekha yang dari tadi asyik dengan kegiatannya sendiri ‘menonton TV’, kini teralih melihat kami.
“Ibu kamu Vivilia Natari kan?”, untuk beberapa kali papi Mekha membuatku merasa bingung. Aku hanya mengangguk.
“Tuuh.. kaaann..!! Kamu tahu nggak, ibu kamu dulu sahabat om. Trus Mr. Crowder itu adalah orang yang menjalin bisnis dengan perusahaan milik om sekarang lho!. Ayahmu sering cerita banyak tentang kalian semua. Gimana kabar mereka berdua?”, wajahnya terlihat merekah-rekah. Aku terdiam.
Aku bingung harus memulainya dari mana. Mendengar kata-kata papi Mekha membuatku merasa aneh. Bagaimana tidak?. Ia telah mengatakan hal yang mustahil. Bagaimana mungkin seseorang yang tak lagi tinggal serumah dengan kami, menceritakan keadaan kami sehari-harinya. Ini benar-benar tak masuk akal. Sungguh.
“Om.. Daddy-ku sudah 12 tahun gak tinggal serumah dengan kami lho!. Om bercanda ya! Mana mungkin ia bisa bercerita kepada om tentang keadaan kami”, aku berusaha menyampaikan kenyataan. Kini, kulihat wajah papi Mekha yang serasa bingung, begitupun Mekha. Mekha perlahan mendekat kearah kami. Papinya kembali duduk ke sofa. Ia bersandar dan menghela nafas.
“Begitu kah? Bagaimana bisa? Apa mungkin om salah orang ya? Tapi tebakanku benar semua”, ia seolah bertanya pada dirinya sendiri. “Ah! Tunggu disini. Om akan mengambil sesuatu dan akan segera kembali!”, kembali ia berdiri dan berlalu meninggalkan kami berdua. Aku teralihkan dengan keberadaan Mekha sekarang. Kami saling memandang penuh tanya.
--- ☀☁☂ ---
Kulihat papi Mekha kembali. Ia berjalan menuju kami. Kedua tangannya membawa box bewarna merah bata berukuran kurang lebih 30x25 cm.
“Papi bawa apa?”, sedikit berteriak Mekha menanyakannya.
Papi Mekha duduk di sofa, tempat ia duduk tadi.
“Ini.. kumpulan album pernikahan papi dengan mami. Disini juga ada foto Ayah dan ibu Rara juga anak tertuanya”, katanya sambil mencari foto yang dimaksud. “A! Ini dia!!. Coba lihat apa ini betul ayah dan ibumu, Rara?. Om hanya ingin memastikan saja”, katanya.
Mekha mendekat ke tempatku. Aku meraih album foto itu. Kulihat foto yang dimaksud papi Mekha. Benar saja, difoto itu kujumpai sosok orang tuaku dan bang Faris yang masih bocah.
“Iya, ini memang keluargaku. Ini bunda.. ini daddy.. dan ini bang Faris..”, sambil menunjuk orang yang ada dalam foto itu.
“Iya betul!! Wajah ini wajahnya bang Faris kan!. Mirip~”, Mekha juga ikut menunjuk.
“Gimana bisa gak mirip? Itu memang dia. Bukankah sudah jelas?”, aku berbalik menghadap Mekha. Ia menunjukkan senyum lebar polos manisnya.
“Berarti itu benar. Tapi kenapa ayahmu bisa bercerita seperti itu kepadaku?. Mungkin.. ia berusaha menyembunyikan kenyataan untuk membuat hidupnya lebih baik!”, papi Mekha menyandarkan punggungnya ke punggung sofa.
“Bisa jadi!”, Mekha menambahkan.
Berfikiran seperti itu ada benarnya juga. Menyembunyikan kenyataan untuk membuat hidup lebih baik, hidup selama 12 tahun sendirian.. pasti itu sangat menyiksa!.
“Om, boleh kusimpan foto ini?”, berusaha aku memintanya. Yang kupunya hanyalah foto daddy seorang diri. Aku ingin melihat gambar bunda dan daddy berdiri berdampingan.
“Boleh. Silahkan saja diambil. Nanti foto itu juga akan kembali ke om lagi. Tinggal menunggu waktu saja!”, papinya menjawab.
“Lho kok bisa gitu?. Om nggak ikhlas ya?”, berulang kali papinya berhasil membuatku bingung.
“Bukan! Kan kamu cepat atau lambat bakalan resmi jadi menantu om sama tante~”, papinya menggoda.
“Ah.. papi bikin Mekha merah.. ah!!”, Mekha bergaya malu-malu.
“Mekha!!”, seruku sedikit mengeraskan suara.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar