_ Cerita Daddy? _
Siang ini aku bersama keluarga Mekha
makan bersama. Maminya baik sekali. Tanpa merasa terbebeni ia memasakkan
berbagai macam masakan untuk kami semua. Padahal ia baru saja datang dari
Batam. Ingin aku membantunya memasak. Tapi.. yang kubisa hanya memasak mie instan
dan merebus air!. Sebernarnya wanita apa aku ini?!. Tapi, mana mungkin aku tak
membantu sama sekali. Disini aku membantu menyiapkan peralatan makan, tentunya
dengan sedikit bantuan dari Mekha.
I
born to eat. I born to drink. I born to sleep, itu juga moto-ku. Aku makan
dan minum dengan nikmatnya. Sungguh! Masakan maminya Mekha benar-benar enak.
“Mau tambah? Enakkan?. Mamiku hobbynya masak. Ia suka sekali membuat eksperimen
dengan bahan-bahan masakan apa saja”, Mekha menceritakan keunggulan maminya.
“Oo.. nggak, sudah cukup kok!”, aku menolaknya.
Sebenarnya.. dalam hati ingin sekali aku melahap semua masakan ini.
Jarang-jarang aku makan masakan rumah. Kurasa, bunda juga tak mungkin sempat
memasakkan makanan untuk kami. Paling normal seminggu sekali aku bisa merasakan
kenikmatan memakan masakan bunda. Maklumlah, bunda berangkat pagi-pagi sekali dan
pulang malam karna tuntutan pekerjaan. Alhasil, kami lebih sering memakan
makanan instan. Tapi, terkadang bang Faris segan membuatkan nasi goreng untuk
aku dan Uzik, walau rasanya selalu tak enak. Jadi, kami tak melulu memakan
makanan instan.
“Tak perlu sungkan-sungkan.. kalau
suka silahkan habiskan. Tante malah senang melihat kamu begitu nikmat memakan
masakan tante!”, sambil menyodorkan beberapa makanan.
Aku malu, terutama saat mami Mekha berkata seperti itu. Kesannya, aku malah
terlihat seperti anak yang kelaparan atau bisa juga anak yang istilahnya gak
pernah makan!. Sama sajalah.. pokoknya begitu!!.
“Aa.. iya tante”, tanpa sungkan lagi aku mengambil beberapa sendok sup yang
bentuknya terlihat aneh tapi melumer dan enak saat dimakan.
Kulihat tatapan mereka semua. Mereka sepertinya senang, saat melihat cara
makanku. Makanan di mangkukku sudah habis. Aku merasa sedikit mengantuk.
Mungkin karna terlalu kenyang.
“Kamu nginap disini saja, Ra?”, papinya menawarkan.
“Rencananya sih begitu, om. Aku ingin main sama Mekha. Lagipula.. dirumah
gak ada siapa-siapa”, aku menerangkan.
“Kok, gitu?”, kembali papinya bertanya. Mekha berusaha menyela jawaban yang
akan kuucapkan.
“Bundanya Rara dikirim ke daerah jember selama seminggu. Biasalah pi..
urusan pekerjaan”.
“Lho!? Rara anak tunggal, Mekh?”, kali ini maminya yang bertanya.
“Nggak kok mi. Oh ya, Rara ini anak kembar lho.. kembar cowok-cewek!. Dia
juga punya Abang. Lah!! Abangnya Rara ini teman main aku sejak SMP dulu.. teman
nongkrong gitu lah!”.
“Waah.. mulai dari dulu tante juga ingin punya anak kembar, ya kan pi?”,
maminya beraksi mesra. “Rara.. buatin tante cucu kembar ya!”.
Aku yang dari tadi hanya diam mendengar, sentak kaget dan tersedak. Ku
ambil segelas air dan lekas meminumnya. “Engmm.. maaf”, hanya kata itu yang
bisa keluar dari mulutku sekarang. Aku menyelesaikan makanku.
--- ☀☁☂ ---
Menjelang sore aku, Mekha, dan
papinya bersantai-santai di ruang tengah. Mereka terus saja menubrukku dengan
berbagai pertanyaan. Terutama papi Mekha.
”Rara.. om ingin tahu. Apa kita
pernah bertemu sebelumnya?. Rasanya, om merasa tak asing dengan wajah kamu”,
sambil menyeruput kopi di cangkir keramik.
“Aa.. saya juga merasa begitu
sih, om”.
Berhenti papi Mekha menyeruput
kopi.
“Tuh kan!! Tapi, dimana? Kapan
ya?”. Ia terlihat seperti mengingat-ingat.
“Rara.. ayah kamu siapa sih
namanya?”, terusnya. Aku semakin bingung, kenapa membutuhkan nama ayah untuk
mengingat. Meskipun tak tau apa maksudnya, kucoba ikuti arah. “Daddy-ku namanya
John Crowder. Memangnya kenapa, om?”.
“Tuuh kan...!”, papi Mekha
beranjak dari sofa. Papinya semakin membuatku bingung. Bikin aku kaget pula!.
“Eh?”, reflek kata yang keluar
dari mulutku. Mekha yang dari tadi asyik dengan kegiatannya sendiri ‘menonton
TV’, kini teralih melihat kami.
“Ibu kamu Vivilia Natari kan?”,
untuk beberapa kali papi Mekha membuatku merasa bingung. Aku hanya mengangguk.
“Tuuh.. kaaann..!! Kamu tahu
nggak, ibu kamu dulu sahabat om. Trus Mr. Crowder itu adalah orang yang
menjalin bisnis dengan perusahaan milik om sekarang lho!. Ayahmu sering cerita
banyak tentang kalian semua. Gimana kabar mereka berdua?”, wajahnya terlihat
merekah-rekah. Aku terdiam.
Aku bingung harus memulainya dari
mana. Mendengar kata-kata papi Mekha membuatku merasa aneh. Bagaimana tidak?.
Ia telah mengatakan hal yang mustahil. Bagaimana mungkin seseorang yang tak lagi
tinggal serumah dengan kami, menceritakan keadaan kami sehari-harinya. Ini
benar-benar tak masuk akal. Sungguh.
“Om.. Daddy-ku sudah 12 tahun gak
tinggal serumah dengan kami lho!. Om bercanda ya! Mana mungkin ia bisa bercerita
kepada om tentang keadaan kami”, aku berusaha menyampaikan kenyataan. Kini,
kulihat wajah papi Mekha yang serasa bingung, begitupun Mekha. Mekha perlahan
mendekat kearah kami. Papinya kembali duduk ke sofa. Ia bersandar dan menghela
nafas.
“Begitu kah? Bagaimana bisa? Apa
mungkin om salah orang ya? Tapi tebakanku benar semua”, ia seolah bertanya pada
dirinya sendiri. “Ah! Tunggu disini. Om akan mengambil sesuatu dan akan segera
kembali!”, kembali ia berdiri dan berlalu meninggalkan kami berdua. Aku teralihkan
dengan keberadaan Mekha sekarang. Kami saling memandang penuh tanya.
--- ☀☁☂ ---
Kulihat papi Mekha kembali. Ia
berjalan menuju kami. Kedua tangannya membawa box bewarna merah bata berukuran
kurang lebih 30x25 cm.
“Papi bawa apa?”, sedikit
berteriak Mekha menanyakannya.
Papi Mekha duduk di sofa, tempat
ia duduk tadi.
“Ini.. kumpulan album pernikahan
papi dengan mami. Disini juga ada foto Ayah dan ibu Rara juga anak tertuanya”,
katanya sambil mencari foto yang dimaksud. “A! Ini dia!!. Coba lihat apa ini
betul ayah dan ibumu, Rara?. Om hanya ingin memastikan saja”, katanya.
Mekha mendekat ke tempatku. Aku
meraih album foto itu. Kulihat foto yang dimaksud papi Mekha. Benar saja, difoto
itu kujumpai sosok orang tuaku dan bang Faris yang masih bocah.
“Iya, ini memang keluargaku. Ini
bunda.. ini daddy.. dan ini bang Faris..”, sambil menunjuk orang yang ada dalam
foto itu.
“Iya betul!! Wajah ini wajahnya
bang Faris kan!. Mirip~”, Mekha juga ikut menunjuk.
“Gimana bisa gak mirip? Itu
memang dia. Bukankah sudah jelas?”, aku berbalik menghadap Mekha. Ia menunjukkan
senyum lebar polos manisnya.
“Berarti itu benar. Tapi kenapa
ayahmu bisa bercerita seperti itu kepadaku?. Mungkin.. ia berusaha
menyembunyikan kenyataan untuk membuat hidupnya lebih baik!”, papi Mekha
menyandarkan punggungnya ke punggung sofa.
“Bisa jadi!”, Mekha menambahkan.
Berfikiran seperti itu ada
benarnya juga. Menyembunyikan kenyataan
untuk membuat hidup lebih baik, hidup selama 12 tahun sendirian.. pasti itu
sangat menyiksa!.
“Om, boleh kusimpan foto ini?”,
berusaha aku memintanya. Yang kupunya hanyalah foto daddy seorang diri. Aku
ingin melihat gambar bunda dan daddy berdiri berdampingan.
“Boleh. Silahkan saja diambil.
Nanti foto itu juga akan kembali ke om lagi. Tinggal menunggu waktu saja!”,
papinya menjawab.
“Lho kok bisa gitu?. Om nggak
ikhlas ya?”, berulang kali papinya berhasil membuatku bingung.
“Bukan! Kan kamu cepat atau
lambat bakalan resmi jadi menantu om sama tante~”, papinya menggoda.
“Ah.. papi bikin Mekha merah.. ah!!”,
Mekha bergaya malu-malu.
“Mekha!!”, seruku sedikit
mengeraskan suara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar