_ Sayap yang Siap Terbang _
“Ananda Namorara putri dari bapak
John Crowder.....”, seorang pembawa acara wisuda
memanggil namaku dengan nada yang santun. Aku naik keatas mimbar sesuai gladih resik yang kami lakukan
bersama-sama kemarin. Tubuhku membungkuk sedikit mencondong kedepan,
mempersilahkan seseorang mengalungkan sesuatu keleherku. Seseorang itu berpostur
tinggi dan gagah. Ia menyambutku dengan
senyum yang dibalut kumis hitam tebalnya. Siapa lagi kalau bukan bapak kepala
sekolah.
“Selamat atas kelulusannya ya”, sambil menjabat tanganku.
Aku membalas senyumnya dan berlalu.
--- ☀☁☂ ---
Acara wisuda berlalu, aku menarik
nafas lega. Kuberjalan menuju deretan kelas Uzik. Mungkin Uzik ada disana, pikirku. Benar saja kujumpai sosoknya
disana. Kulihat segerombol gadis terus saja memaksanya agar mau foto bersama. Dijarak
10 meter darinya aku menyilakan tangan dan menonton ketenaran saudara kembarku
itu. Hampir lima menit akhirnya selesai juga. Gadis-gadis itu berlalu dengan
senang. Uzik menyadari keberadaanku dan lari kecil menghampiriku.
“Eh, kamu nunggu aku ya big sis.!”, katanya sedikit terengah-engah.
“You’re Jerk! Mana bisa membiarkan kakak tersayangmu melumut hampir lima
menit disini!. Bisa-bisanya baru nyadar keberadaanku dan asyik-asyikan majang
tampang sama gadis-gadis itu!”. Aku mencoba menggodanya.. entah dia
menangkapnya apa.
“Ahaha.. kau cemburu?”, tebaknya.
Aku menyerngitkan alis.
“Cemburu? No way!!. Aku nggak nyangka saja kamu setenar itu”.
Uzik berpindah tempat, dan sekarang ia berada tepat didepanku.
“Just setting an example.. inilah wajah tampan yang sempurna.. hahahaha”.
“Dasar!!”, aku membalasnya singkat sambil mengacak-acak rambutnya.
Aku dan Uzik pergi meninggalkan tempat
itu. Hampir sampai di gerbang kedua langkah kami terhenti. Tampak Mekha yang
sedang datang menghampiriku dan Uzik. Ia berhenti tepat didepanku dan Uzik.
“Kau membuatku pangling, Ra!. Kau terlihat lebih cantik hari ini”, sambil
melihatku Mekha memujiku.
Ku rasakan aura keganjilan disekitarku. Lekas aku menengok ke arah Uzik.
Benar saja ia terlihat seperti menahan tawa.
“Kalian berdua bisa akrab juga rupanya. Apa ada sesuatu yang belum aku
ketahui tentang rahasia dibalik keakraban kalian ini?”, kata Uzik menggoda.
“A! Kau belum tahu ya Oez-Bot. Kakakmu ini telah resmi menjadi calon
pengantinku. Dan.. aku akan segera meminangnya 3 sampai 5 tahun mendatang.
Tentunya setelah aku bisa menghasilkan uang yang banyak”, katanya polos.
Suaranya rada keras saat mengatakan itu. Alhasil, semua orang yang berada
disekitar kami menoleh.
“Ssstt!!! Jangan keras-keras. Mereka melihat ke arah kita tahu!”, tanganku
membungkam mulutnya. Uzik tak tahan menahan tawanya, ia pun tertawa lepas.
“I can’t believe it! I can’t believe it!!”, kata Uzik yang masih tertawa
lepas.
Tawanya semakin menjadi-jadi. Aku menaikkan alis, dan masih kulihat ia
tertawa memegangi perutnya. Tak lama setelah itu, Uzik tersedak karna tertawa
berlebihan. Aku mendekatinya dan memukul-mukul punggungnya, berusaha
menolongnya. Uzik menoleh kearahku, ketika batuknya agak mereda. Ia tertawa
lagi.
“Zik, kau gila!! Masih bisa kau tertawa hah?!”, aku membalasnya dengan rasa
heran. Wajahnya merah berkeringat. Sedangkan Mekha, hanya diam tersipu-sipu.
Semua berubah dengan cepat tanpa disadari...
Perlahan.. aku menujumu..
bersamanya...
Takdir yang menuntun pertemuan
kita...
Aku ingin.. berjumpa denganmu...
Aku ingin...
Jika kelak aku melupakanmu dengan sebab...
Aku mohon jangan pernah lupakan aku...
Daddy...
_ Siap? _
“Aku
gak siap!! Aku gak siap!!”, sedikit meronta aku mencoba melepas genggaman
tangan Mekha. “Mekh.. lepasiiin.. aku sungguh belum siap kalau harus sekarang.
Aku takut. Kau tahu kan.. aku belum pernah melakukan ini sebelumnya..”. Perlahan
genggamannya mulai merenggang. Berbalik ia membelakangiku lalu memegang
pundakku dengan kedua tangannya. Ia membisikkan sesuatu, “Kau tak perlu takut,
Ra. Aku akan membimbingmu. Ini rumahku, kau tak akan tersesat”, sedikit ia
membuat guyonan. Mekha kemudian menggandeng tanganku lagi. Ia menuntunku menuju
sebuah ruangan...
Ini adalah hari ketiga setelah wisuda.
Hal-hal baru yang belum terjamah mulai datang menjamah hidupku. Tanpa sadar aku
terus berjalan menuju masa dewasa.
“Ra, perkenalkan.. ini nenekku. Dia
yang telah merawatku selagi orang tuaku bertugas keluar kota”, Mekha menuntunku
kearah neneknya yang sedang terbaring lemah di ranjang yang terlihat sederhana.
Nenek Mekha matanya sipit. Mungkin itu gejala yang akan dialami seseorang
ketika menginjak masa manula?!.
“Siapa itu, cu?”, sambil berusaha membuka mata lebar-lebar.
“Dia ini calonku, nek”, Mekha memperkenalkanku pada neneknya.
“Calon apa, cu?”, tanya neneknya sekali lagi.
“Ya calon apa lagi kalau bukan calon istri, nek!. Gimana.. menurut nenek
calonku ini cantik nggak?”.
Kulihat nenek Mekha yang berusaha melihat wajahku. Wajah neneknya nampak
serius. Aku memasang wajah sempurnaku agar bisa mendengar jawaban yang
memuaskan dari neneknya. Neneknya masih memasang tampang serius. Selang
beberapa detik setelah itu...
“Wajahnya kok gak jelas ya, cu~”.
GUBRAK!!! Buat apa aku susah-susah pasang tampang sempurnaku jika hasilnya
nol. Mekha reflek menoleh ke arahku. Ia memampang semua gigi-giginya saat
tersenyum lebar. Aku tahu, dia pasti merasa sungkan kepadaku. Aku membalas
senyumnya dengan senyum yang sama. Ia nampak lega, aku bisa melihatnya.
Setelah aku dan Mekha keluar dari
ruangan itu, sempat terjadi perbincangan diantara kami. “Mekh” ; ”Ra”,
bersamaan kami saling memanggil nama.
“Biar aku dulu saja!”, dengan cepat aku memotong kata yang akan
diucapkannya.
“Kau aneh!! Seharusnya kau menungguku dulu.. tunggu sampai aku
mempersilahkanmu ngomong duluan. Baru kamu boleh ngomong..”, sambil memasang
tampang gemas.
“Ehehe.. itu kuno!. Bertindak agresif seperti yang barusan kulakukan adalah
hal yang lebih keren!”, mencoba meyakinkan.
“Aku hanya ingin cerita tentang hal yang barusan terjadi. Kupikir tadi itu
buyutmu~”.
Tersentak ia kaget.
“Buyut?. Kamu bercanda ya..?. Apa nenekku terlihat setua itu?”.
“Hanya asal tebak saja”, jawabku.
“Kau merendahkan nenekku!!!”, seketika wajahnya berubah seperti seorang
anak kecil yang hendak menangis. Aku gelagapan dibuatnya.
“Eh! Eh! Eh! Kau kenapa, Mekh?. Aku hanya gadis jujur yang biasa ngomong ceplas-ceplos seperti tadi.. kamu gak
suka aku ngomong terlalu jujur ya?”.
Tanpa kuduga ia tertawa terbahak-bahak.
“BODOH!, kamu gak sadar ya.. aku lagi main akting!”.
“Hah~”, aku menghela nafas lega.
Waktu-waktu tadi itu terasa hangat.
Percakapan kami masih berlanjut.
“Kau tahu alasanku membawamu kerumahku...?”, Mekha mencoba memberi
pertanyaan.
“Ya, tentu saja aku tahu. Tapi dugaanku meleset sedikit!”.
“Kalau begitu apa?”, tanyanya lagi.
“Tadinya, kupikir kau membawaku kerumahmu karna ingin memperkenalkanku ke
kedua orang tuamu.. tentu saja aku belum siap. Eh.. ternyata kau membawaku ke
nenekmu. Aku cukup lega!”, jawabku panjang lebar. Mekha tersenyum.
“Kenapa kamu senyam-senyum begitu..?. Jangan begitu! Kau buat aku merinding!!”,
tatapanku kepadanya penuh curiga.
“Dugaanmu tak meleset, Ra. Dugaanmu TEPAT!!”.
“Apaa!! ............te..pat ya??”, sentak aku kaget mendengarnya.
Selang beberapa waktu setelah
pembicaraan kami tadi, kudengar bel rumahnya berbunyi.
“Itu pasti mami sama papiku!”, katanya.
“Kamu manggil mami-papi ya?. Kok
lebih terdengar seperti anak manja ya.. apalagi kamu anak tunggal. Iiihh~
manisnyaa...”, godaku. Ia memandangku lagi dan lagi, ia tersenyum.
“Aku gak manja kok! Lagipula, aku gak semanis yang kamu bilang. Aku bisa
jadi liar tiba-tiba lho...”, berbalik ia menggodaku. GLEKK!!, liar tiba-tiba?. Kini kulihat wajahnya yang serasa puas
menggodaku.
“Aku mau buka pintu dulu..”, bergerak ia meninggalkanku.
--- ☀☁☂ ---
Aku mendengar suara tapak kaki yang
semakin lama terasa semakin dekat saja. Benar saja, saat ku menoleh kebelakang
kulihat Mekha berdiri bersama kedua orang tuanya. Mereka berdua menyambutku
dengan senyum yang ramah.
“A.. hallo om~ tante~”, berusaha aku menyapa mereka.
“Mi.. Pi.. ini calon istiku, Rara..”, mendekat ia kepadaku.
Mekhaaaa...!!!, geregetku dalam hati.
“Oh.. calon mantu ya..”, tiba-tiba saja mami Mekha ambil bicara.
“Oh.. jadi anak mami ini ingin nikah sekarang ya.. makanya kamu ingin
mami-papi cepat-cepat pulang..”. Cepat-cepat
nikah?, batinku.
“Ah!! Bagus itu!!”, papinya menambahkan.
Kutarik pakaian Mekha dan mencoba membisikkan sesuatu, “Mekh!”. Kurasa
hanya dengan itu saja Mekha tahu maksudku. Mekha mengedipkan satu matanya, ia
berjalan beberapa langkah ketempat asalnya tadi.
“Bukan.. Mekha hanya ingin memperkenalkan calon istri Mekha saja..”, ia menjelaskan
dengan nada yang tegas. Orangtuanya terdiam bingung. Mekha memang aneh!
Hari ini aku menghabiskan masa santai
liburan dirumah Mekha bersama kedua orangtuanya. Ternyata itu tak terlalu
buruk. Ketakutanku akan hal-hal yang berlebihan dari imajinasi yang aku
bayangkan tentang mereka, rupanya salah besar. Disini aku dapat merasakan
kehangatan yang berbeda, yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Dan.. perlahan..
aku juga bisa mengenal karakter Mekha. Kami semakin dekat. Karakternya
berbanding balik dari karakter yang ku kenal dulu. Semua tanyaku perlahan
terjawab!.
Duniaku masih sama.. hanya saja sekarang ada kamu disisiku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar