_
SeperDua Hari _
☆ ( Bagian 1 ) ☆
Hari
tlah berhujung sore. Kini saatnya untukku kembali ke rumah. Tubuhku terasa
lemas dan lunglai jika mengingat aku tak memakan apapun hari ini. Aku berjalan
tertunduk-tunduk. Tak kuat rasanya menahan berat tubuh dan berat buku yang
kubawa ini. Disisi lain mekha melihatku dari arah belakang. Selalu saja dari
belakang!.
Mungkin itu juga yang menjadi ciri khasnya. Dia berjalan menuntun sepedanya
mendahului langkah kecilku. Sekilas aku melihatnya mendahuluiku, kemudian aku menunduk
lagi dan melanjutkan jalanku.
“Mau sampai mana kau jalan
terus?! Nanti
malah nabrak pagar.. baru tau rasa!”, kata Mekha membubarkan lamunanku saat
berjalan. “Mau bareng gak? Ku bonceng sini!”, ajaknya.
“Hah??”, ucapannya rada tak jelas ditelingaku.
“Mau gak?”, tanya-nya
sekali lagi sambil menunjuk-nunjuk tempat boncengan.
“Oh~”, balasku sambil
berjalan menuju dirinya dan sepedanya. Tentu
saja aku tak menyia-nyiakan ajakannya. Kenapa?. Karna yang aku pikirkan
sekarang adalah cepat sampai rumah, lalu
tidur!!. Aku tak mau membuang-buang waktu hanya untuk menunggu lama, hingga
bang Faris datang menjemputku dan Uzik. Uzik..
maaf ya.. kakak tersayang-mu ini pulang duluan...
Perjalanan
pulang ini, semakin membuatku mengantuk. Bagaimana tidak? Jalanan yang
ditumbuhi pohon-pohon rindang, angin lembut yang berhembus sepoi-sepoi, serta
bunyi sepeda Mekha yang berjalan pelan menjadi faktor bertambahnya rasa
kantukku. Alhasil akupun terlelap. Lucunya, aku tetap bisa menjaga keseimbangan
tubuh hanya dengan berpegang
pada tas ransel Mekha.
Waktu
berjalan mengiringi mimpiku yang damai hingga sampai di rumah. Terdengar suara
gayuhan pedal sepedanya yang hampir samar. Kemudian diselingi susulan rem yang
memberhentikan dua roda sepeda kesayangannya itu. Sepeda Mekha berhenti. Aku
merasakannya. Ku
buka mata perlahan, kemudian mencoba turun
dengan mata setengah terbuka.
“..........4Mekh-san,
arigatoooooooo~. ...HOAAHMM~”, kata ku tak karuan saking ngantuknya.
“Ya sudah. Tidur
dulu sana!”, balasnya.
Aku
berjalan dengan sedikit kesadaran yang tersisa menyusuri pohon dan semak-semak
yang tumbuh di depan pagar rumahku.
“Hei! Hati-hati
nabrak pagar Mor-Bot!!”, bentak Mekha. Tak kuhiraukan. Tetap saja aku jalan
pontang-panting kesana-kemari. Aku tak bisa mengendalikan tubuh yang lelah ini.
Dimana kasurku~ dimana kasurku~,
igauku berulang-ulang seperti orang gila. Tak beberapa lama, akhirnya aku tiba
juga di depan pintu samping rumah. Pintu ini menghubungkan antara kamar tamu
dan kamarku.
“5Tadaima~”, sapaku untuk seluruh penghuni
rumah.
“Eh? Kamu ngomong
apa sih kak?”, tanya bunda yang sedang bingung dengan kata yang barusan aku
ucapkan. Maklumlah, bunda orang jawa tulen. Paling nggak bunda hanya bisa
bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa internasional. Intinya ke-3 bahasa
itu yang wajib ia tahu. Itu saja!.
“Eh! Ada bunda
ya.. tumben?. Aaa? Ya itu-lah bun~”, jawabku sambil mencium tangan bunda.
“Kamu lagi error
ya kak?”, tanya bunda sekali lagi.
“Aa~ Cuma sedikit oleng bun?”, sambil kupegang dan kutepuk
kecil kedua pipiku.
“Tuh kan.. kamu
lagi error. Sudah! Makan dulu sana!! Ada semur ayam spesial tuh!”, perintah bunda,
meniru logat salah satu iklan mie yang sering muncul di TV.
“Ehehe.. Rara tidur
saja bun”, sambil berjalan tak karuan menuju kamar.
Berjam-jam
aku tidur. Tidur kali ini tak diikuti oleh mimpi apapun. Terasa begitu cepat.
Tapi, ada rasa lega saat aku bangun. Suara detik jam terdengar jelas di kamarku
yang sepi. Sebenarnya aku sudah bangun, tapi enggan untuk membuka mata.
Kupandangi langit-langit kamar sembari mengumpulkan sebagian rohku yang masih
asyik jalan-jalan di dunia mimpi. Beberapa detik setelah semua rohku telah
lengkap menyatu ke satu raga ini, segera-ku mengangkat tubuh dan mencoba
bergerak turun dari ranjang. Ku berjalan menghampiri sebuah meja belajar dan mengambil
I-Pod putih kesayanganku. Kupasang Ear
Phone berukuran mini di kedua
telingaku. Kucoba memilih beberapa daftar lagu dari penyanyi kesayanganku, BIG BANG.
Kuputar lagu berjudul ‘High High’
oleh G-Dragon dan T.O.P.
So so sorichyo araso
mosyo
T.O.P class and Mr.G in the the club in ma b-boys’s dance
Jinjja nol jul aneun do jedero tojin gam sok
Everybody make it move make it move ttenggyojwo
T.O.P class and Mr.G in the the club in ma b-boys’s dance
Jinjja nol jul aneun do jedero tojin gam sok
Everybody make it move make it move ttenggyojwo
Sonkkoma gidaridon
Freedom jongwonchogwa
Deusen youdeulman-ye ssireum ilbon ilchoga
Noege yongwoneul yaksokhe hey come on and make some noise
Nan i bameui detongryong naye sonyo yo fly!
Deusen youdeulman-ye ssireum ilbon ilchoga
Noege yongwoneul yaksokhe hey come on and make some noise
Nan i bameui detongryong naye sonyo yo fly!
High high I’m so high
High high up in the sky
High high I’m so high
Fly fly touch the sky
Ha ha ha ha ha say la la la la la
Ha ha ha ha ha, aiiiiiiiite!!
High high up in the sky
High high I’m so high
Fly fly touch the sky
Ha ha ha ha ha say la la la la la
Ha ha ha ha ha, aiiiiiiiite!!
Ku nyanyikan dengan
semangat. Alunan lagu itu benar-benar mampu membuat mataku terasa segar. Aku
memang sangat menyukai BIG BANG sejak tahun 2009 lalu. BIG BANG
bisa menjadi salah satu obat rutin harianku. Setidaknya sehari aku harus bisa
mendengarkan minimal 7 lagu karya BIG
BANG. Seperti minum obat saja!. Tapi,
seenggaknya itu gak bisa bikin aku over dosis walau berlebihan penggunaan!. A.
PLUKK!. Sebuah buntalan kertas berisi batu kecil mengenai hidungku. Kuambil,
kubuka, dan kubaca isinya. `Look at the
window! Now!!`. “Siapa sih! Iseng banget. Pakai trik kuno ngelempar-lempar
kertas lagi...”, gumamku. Dengan segera ku buka I-Pod ku dan menengok ke arah
jendela. Kulihat wajah Abang yang sedang tertawa terbahak-bahak. Sepertinya dia
terlihat puas setelah melihat mimik wajah bingungku.
“Ada apa!”, tanyaku sedikit jengkel.
“Cepat mandi gih! Gadis kok bangun petang gini~”, sahut bang Faris.
“Ck!”, berusaha merapikan rambut pendekku.
“Dik”
“Apa?”
“Kamu gak ngerasa malu ya?”
“Malu gara-gara apa?”
“Kamu gak nyadar ya?”
“Kamu gak nyadar ya?”
“Hah?”, sambil ku kerutkan keningku.
“Hah?. Cuma itu jawabanmu?”
“Ah!!! Sudah deh bang. Gak perlu basa-basi lagi!. Langsung saja. Ribet
tahu!”
“Ck! Esmosian banget sih kamu.
Gak malu apa kalau dilihat si Mekha? Apalagi kamu belum mandi”.
“Hah?”, bingungku sekali lagi.
“Yosh, Mor-Bot!”, sapa Mekha yang muncul dari balik tubuh bang Faris.
GAPS!!. Wajahku memerah, panas-dingin.
Rasanya, seluruh darahku berlari mengalir ke seluruh ruang di bagian kepala. Dengan
segera, aku lompat dari ranjang dan berlari menuju jendela. Ku geser horden
yang membentang di jendela kamarku.
“Ada perlu apa? Kalau penting, masuk dan tunggu sebentar lagi. Kalau nggak
penting pulang saja!”, seruku dengan suara lantang.
Jantungku berdegup tak karuan. Nafasku terengah-engah. Kakiku lemas karena
gemetaran. Terdengar suara kikikan mereka berdua. Rupa-rupanya mereka memang
sedang bersekongkol. Wah gak betul nih!,
pikirku sambil geleng-geleng kepala. Tapi.. kenapa spontanitasku berlebihan
begini ketika melihat Mekha?. Apa aku memang gadis remaja yang aneh?. (O.o);
--- ☀☁☂ ---
Langit malam tanpa bintang, terlihat
luas dan kosong. Seperti kepala tanpa otak. Huh.. sama seperti keadaanku saat
ini. Aku tak dapat berfikir jernih sekarang.
“Kenapa Mekha bisa datang kesini?. Ada perlu apa dia?”, tanyaku berulang-ulang pada diri sendiri. Segera aku membersihkan
diri. Tunggulah aku! Aku akan segera kembali lalu mengintrogasimu!!.
Bersiaplah!.
Kukenakan pakaian tidur malamku –
berdandan – dan tentunya tak lupa menggunakan parfume anak-anak aroma apple
kesukaanku. Setelah kegiatan membenah diri tlah usai, kini waktunya menghampiri
si Mekha dan menanyakan tentang maksudnya datang kerumahku. Saat keluar dari
kamar, ku jumpai sosok Mekha dan bang Faris yang sedang asyik menonton film
Avenger.
“Hei, sini! Kita nonton bareng yuk!”, ajak Mekha.
Iih..! siapa dia? Lagaknya.. kayak yang punya rumah saja!!, gumamku dalam
hati. Kucoba dekati mereka berdua dan sekedar basa-basi.
“Nonton apa bang?”, tanyaku pura-pura tak tahu.
“Nih, lagi nonton Avenger. Belum nontonkan kamunya?. Sudah duduk aja! Kita
nonton bareng-bareng.”
“Gak ah! Apa enaknya sih nonton CD bajakan.. gak aku banget gitu!”.
“Yee.. anak ini njengkelin ya bang”, sabet si Mekha.
“Apaan kamu ikut-ikutan!! Lagian ngapain kamu kerumahku malam-malam gini?
Pakai acara bawa tas ransel gedhe lagi!”, omelku sambil memonyongkan bibir.
“Yee.. apaan tuh! Pake monyongin bibir segala. JELEK!!”, kata Mekha mencoba
menggoda kesabaranku.
Seketika mukaku mengkerut-kerut
seperti nenek kesemek di komik serial Pudding in Love. “Arggh!!! Dasar bodoh!
Ngapain sih aku bertindak seperti itu!!”, sebalku pada diri sendiri. “Kenapa
aku terlihat seperti orang yang sedang mencari musuh?!. Padahalkan...”
(Pemutusan adegan. Terlalu banyak tanya dan penyesalan di adegan ini).
--- ☀☁☂ ---
Malam ini tak urung
menjadi malam yang lengkap dengan pikiran. Rasanya sesak sekali. “Sebenarnya
aku ini kenapa?”, sambil terus berjalan meninggalkan mereka berdua. Aku
pergi keluar menuju halaman belakang rumah, dan duduk pada papan ayunan yang
terbuat dari kayu. Ayunan ini selalu mengingatkanku pada daddy. Sekarang daddy
sudah tak ada... meskipun begitu sulit sekali melupakannya.
“Haah~~ kisah
orang dewasa itu memang sulit dipahami!. Lebih mudah membayangkan hal-hal yang
aneh, malah”.
“Yo, big sis.!!”,
sapa Uzik yang tiba-tiba muncul dari belakangku. Aku malas menggubrisnya. Entah
apa yang merasukiku saat ini. Yang kulakukan hanya terus memandangi langit
berkabut, sambil mendengar suara rantai besi ayunan usang ini bersahut-sahutan.
Tapi.. kasihan juga kalau aku terus melantarkan adik kembarku sendiri. Jangan
sampai dia juga jadi kacang kering karna aku kacangin. Cukup aku saja yang jadi
kesemek kering malam ini.
“Kau... ada apa?”,
aku menghampiri mukanya hingga mencapai sejengkal tangan.
Wajah Uzik
terlihat bingung.
“Justru akulah
yang harus bertanya seperti itu kepadamu!. Kau mikirin daddy yang tak
bertanggung jawab itu lagi!?”
Kata-kata yang
keluar dari mulutnya barusan, membuatku terkejut. Tebakannya hampir benar. Apa
karena aku dan dia anak kembar? Sehingga dapat merasakan dan memiliki insting
yang sama?.
“Jangan ngomong
gitu ah!. Biar bagaimanapun dia itu daddy kita. Kalau gak ada daddy, kita gak
bakal tercipta!”.
“Daddy apaan!!!.
Menurutku jabatan seorang daddy tak cocok disandangnya!. Seorang daddy itu tak
mungkin lari dan melepaskan tanggung jawabnya. Apa orang seperti itu yang kau
sebut sebagai DADDY!. Orang yang telah melantarkan Bunda, bang Faris, dan kita
sebagai anak-anaknya!?”.
Sentak mukaku
terasa panas. Air mata tak kuasa meleleh seperti keju panas. Tak kusangka...
meskipun aku dan Uzik anak kembar, tapi ini adalah satu-satunya pemikiran yang
bertolak belakang. Aku baru sadar, meskipun jabatanku sebagai seorang kakak
kembar, ternyata sifatku masih berada jauh dibawah Uzik.
“Eh! Eh! Eh! Kok
nangis sih?. Sudah, diam dooong~. Maafin aku...maafin aku...”.
Uzik mencoba menenangkanku
dengan menepuk-nepuk kedua pipiku. Sesekali ia juga mengusap air mataku yang
melumer-lumer tak henti. Aku yang lama tak pernah menangis, tak tahu harus
berbuat apa agar aku bisa diam seperti semula. Maklumlah, aku bukan karakter
anak yang mudah sekali menangis tanpa sebab yang mendalam. Tanpa pikir panjang,
kuikuti saja gerak tubuhku. Aku beranjak dari ayunan dan melompat sedikit untuk
meraih tubuh Uzik. Ku peluk ia dan menangis sejadi-jadinya.
Sambil mendekapnya
ku coba bisikan sebuah tanya..
“(mengelap sisa
ingus di pakaian bagian pundak si Uzik). Zik~ jika mungkin daddy kembali dan
tahu kalau kita bisa hidup mewah tercukupi seperti sekarang ini, apa kita bisa
menerimanya kembali?”.
“........... Entahlah~
kita lihat saja”.
Butuh
waktu yang cukup lama hingga aku bisa diam dan tak menangis lagi. Uzik
mengeluhkan kakinya yang kesemutan karna terlalu lama berdiri dan sedikit
gerak. Itu semua terjadi karena ia mau menerima dan menompang tubuhku. Aku lega
karena bisa tertawa lagi. Tanpa Uzik, apa yang bisa aku lakukan?.
“Aku masuk ya, big
sis.!. Aku kebelet pipis nih~ Habisnya diluar dingin sih!”.
“Ya,sudah. Pipis
sana gih!”.
Aku senyum-senyum
sendiri melihat tingkah konyolnya barusan.
Akupun
merasa demikian. Diluar dingin. Tapi, aku ingin sedikit lebih lama stay disini.
Aku ingin mengeringkan sisa-sisa air mata yang belum cukup sempurna kering.
Kembali aku duduk pada ayunan. Kucoba mengayun-ayunkan laju ayunan agar sedikit
lebih cepat. NGIIK~NGIIIKK~ suara ini
membuat bulu kudukku berdiri. Ditambah suasana seram yang mendukung : Langit
gelap tanpa bintang dan cahaya bulan – kabut malam yang semakin menebal – angin
yang terus mendesah keseringan – suara jangkrik yang lenyap – ditambah suara NGIIK-an ayunan. Huwaah!! Lengkap
sudah!. Aku lekas lari terbirit-birit menuju dalam rumah. Sungguh... malam yang
berturut-turut menggodaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar